Selasa, 23 Oktober 2012

Sepsis



Definisi
Secara umum, sepsis dapat diartikan sebagai beredarnya virus, bakteri, parasit, jamur, serta toksin yang dihasilkannya di dalam darah ke seluruh tubuh. Wynn et al. (2010) medefinisikan sepsis sebagai sebuah sindrom yang digolongkan dengan variabel yang merubah sistem fisiologis yang disebabkan oleh adanya infeksi. Remick (2007),  De La Rosa et al. (2008), dan Levy (2004) menyebutkan di dalam publikasinya bahwa dua persetujuan umum mendefinisakan sepsis. Pertama pada tahun 1992, konferensi American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) membuat rangka untuk mendefinisikan respon sistemik dan menghasilkan kriteria yang diketahui sekarang sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, dan septic shock berdasarkan publikasi Bone et al. pada tahun 1992. Tachycardia, tachypnea, hipertermia, dan leukositosis sebagai hasil dari respon inflamasi sistemik tidak selalu diakibatkan oleh adanya infeksi, tetapi juga dapat diakibatkan adanya trauma, luka bakar, pankreatitis, dan sebab lainnya. Oleh karena itu, respon fisiologis ini didefinisakan sebagai SIRS dengan tidak adanya kehadiran infeksi. Sepsis didefinisikan sebagai SIRS yang disertai dengan adanya infeksi yang didasarkan kultur mikrobiologi atau bukti klinis yang memperlihatkan gejala infeksi. Sepsis berat didefisinikan sebagai sepsis yang disertai dengan adanya disfungsi organ, dan septic shock didefinisikan sebagai sepsis yang disertai disfungsi sistem kardiovaskular setelah diberikan terapi cairan sebanyak 40 ml/kg dalam satu jam.
Remick (2007),  De La Rosa et al. (2008), dan Levy (2004) juga menyebutkan berdasarkan Levy et al. (2003) bahwa hasil dari persetujuan umum kedua pada tahun 2001 yang dilakukan oleh International Sepsis Definitions Conference adalah menghaluskan definisi-definisi dari hasil konferensi pada tahun 1992. Konferensi ini mengembangkan sistem pembagian karakter sepsis berdasarkan sistem PIRO (Predisposition, Infection, Response, dan Organ dysfunction). Predisposition mengindikasikan adanya keadaan yang dapat mengurangi tingkat ketahanan hidup. Infection merefleksikan pengetahuan klinik bahwa tingkat patogen suatu mikroorganisme berbeda satu sama lainnya. Response menunjukkan reaksi terhadap sebuah infeksi dan perkembangan dari SIRS. Organ dysfunction menunjukkan rusaknya organ pada suatu sistem.
  
Gejala Klinis

Tabel 1 Gejala-gejala yang timbul akibat sepsis (De La Rosa et al. 2008)
Variabel Umum
·         Suhu > 38.3ºC atau < 36ºC
·         Frekuensi Jantung > 90 kali/menit
·         Tachypnea (Frekuensi nafas < 20x/menit
·         Perubahan status mental

Variabel Inflamasi
·         SDP > 12.000 μ/L atau < 4.000 μ/L

Variabel Hemodinamis
·         Tekanan sistolik < 90 mmHg atau tekanan arteri < 70 mmHg
·         Saturasi oksigen di vena > 70%

Variabel Disfungsi Organ
·         PaO2 / FIO2 < 300
·         Peningkatan Kreatinin > 0.5 mg/dL
·         International Normalized Ratio (INR) > 1.5
·         Trombosit < 100.000 μ/L
·         Total plasma bilirubin > 4 mg/DI

Variabel Perfusi Jaringan
·         Hiperlaktatemia > 1 mmol/L
 


Lesio yang ditimbulkan
Lesio yang dapat ditemukan akibat adanya sepsis adalah splenitis atau splenomegali, limphadenitis, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), degenerasi jaringan parenkhim, dan enteritis katarrhalis et hemorrhagica. Limpa dapat menjadi bengkak akibat terjadinya hiperplasia makrofag dan akumulasi netrofil karena peradangan yang terjadi akibat sepsis berlangsung secara kronis. Limphadenitis diakibatkan peradangan pada limfonodus yang dicirikan dengan membengkaknya limfonodus dan adanya eksudat. Jika dilihat secara mikroskopis, akan terlihat adanya hiperemi pada limfonodus (McGavin & Fry 2007). Lesio DIC tampak karena terjadinya koagulasi yang meluas dan aktivasi trombosit yang berlebihan. Hal ini dapat mengakibatkan trombositopenia dan hemorrhagi seiring dengan parahnya sindrom (Mosier 2007). Degenerasi jaringan parenkhim akan terjadi karena pertahanan tubuh tidak dapat lagi mengatasi kondisi peradangan yang sudah menyebar ke seluruh tubuh. Enteritis katarrhalis et hemorrhagica terjadi pada keadaan sepsis dikarenakan teraktivasinya mekanisme pada pertahanan usus yaitu GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) dan sel goblet yang menghasilkan eksudat katarrhalis. Hemorrhagi terjadi karena agen infeksius yang terikut pada darah merusak lapisan epitel mukosa usus. Apabila kelima lesio ini ditemukan, dapat dikatakan bahwa pasien mengalami sepsis komplit dan apabila ditemukan minimal tiga dari tanda-tanda sepsis tersebut dapat dikatakan sepsis inkomplit.
  
Patogenesa

Pada keadaan inflamasi seperti sepsis, perubahan yang signifikan muncul pada sistem koagulasi dan sel-sel yang meregulasi sistem tersebut. Pasien yang mengalami sepsis biasanya mengalami DIC yang mengakibatkan perubahan hemostatis. Perubahan hemostatis ini membuat darah menjadi menggumpal dan menyumbat pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah. Abnormalitas pada sistem koagulasi menghasilkan berbagai macam gangguan hemostatis dan trombosis sejak jaman Virchow. Tiga serangkai klasik dari Virchow adalah perubahan kemampuan koagulasi, kerusakan sel endothel, dan aliran darah yang abnormal. Pada penderita sepsis, ketiga kelainan ini muncul dan menyebabkan penurunan aliran darah menuju organ vital (Remick 2007).





Sumber: Cohen 2002


Lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin dan komponen bakteri lainnya ketika berada di darah memberikan pengaruh kepada endothel, netrofil dan monosit. Respon endothel akibat adanya infiltrasi LPS dan komponen bakteri mengakibatkan meningkatnya tissue factor (TF) dan plasminogen-activator inhibitor tipe I (PAI-I). Peningkatan dari kedua komponen ini akan memberikan efek prokoagulan dan mengakibatkan macetnya mikrovaskular. Selain itu, kehadiran LPS dan komponen bakteri juga menginduksi sitokin sebagai mediator radang serta menambah enzim kemotaksis dari lisosom. Sitokin dan enzim kemotaksis ini selain juga dapat menyebabkan kemacetan pada mikrovaskular juga dapat mengakibatkan vaskularisasi menjadi tidak stabil. Macetnya mikrovaskular dan tidak stabilnya vaskularisasi mengakibatkan terjadinya koagulasi, demam, vasodilatasi, dan kebocoran pada kapiler darah yang hasil akhirnya menyebabkan terjadinya sepsis dan kerusakan multi organ (Cohen 2002).


Pustaka                                                                             
Bone RC, Sibbald WJ, Sprung CL. 1992. The ACCP-SCCM consensus conference on sepsis and organ failure. Chest, 101(6):1481–1483.
Cohen J. 2002. The immunopathogenesis of sepsis. Nature, Vol. 240. Nature Publishing Group.
De La Rosa et al. 2008. Toward an operative diagnosis in sepsis: a latent class approach. BMC Infectious Disease, 18: 8.
Fry MM, McGavin MD. 2007. Bone marrow, blood cells, and lympathic system. Di dalam: Pathologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Editor: McGavin MD, Zachary JF. Missouri: Mosby Inc.
Levy MM. 2004. The challange of sepsis. Critical Care, 8: 435 – 436.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, Cohen J, Opal SM, Vincent JL, Ramsay G. 2003. The SCCM/ESICM/ACCP/ ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med, 31(4):1250-1256.
Mosier DA. 2007. Vascular disorders and thrombosis. Di dalam: Pathologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Editor: McGavin MD, Zachary JF. Missouri: Mosby Inc.
Remick DG. 2007. Pathophysiolocg of sepsis. The American Journal of Pathology, Vol. 170 (5).
Wynn J, Cornell TT, Wong HR, Shanley TP, Wheeler DS. 2010. The host response to sepsis and development impact. Pediatrics, 125 (5): 1031 – 1041.



~reptic_boy~