Definisi
Secara
umum, sepsis dapat diartikan sebagai beredarnya virus, bakteri, parasit, jamur,
serta toksin yang dihasilkannya di dalam darah ke seluruh tubuh. Wynn et al. (2010) medefinisikan sepsis sebagai
sebuah sindrom yang digolongkan dengan variabel yang merubah sistem fisiologis
yang disebabkan oleh adanya infeksi. Remick (2007), De La Rosa et
al. (2008), dan Levy (2004) menyebutkan di dalam publikasinya bahwa dua
persetujuan umum mendefinisakan sepsis. Pertama pada tahun 1992, konferensi American College of Chest Physicians/Society
of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) membuat rangka untuk mendefinisikan
respon sistemik dan menghasilkan kriteria yang diketahui sekarang sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
sepsis, sepsis berat, dan septic shock
berdasarkan publikasi Bone et al. pada
tahun 1992. Tachycardia, tachypnea, hipertermia, dan leukositosis sebagai hasil
dari respon inflamasi sistemik tidak selalu diakibatkan oleh adanya infeksi,
tetapi juga dapat diakibatkan adanya trauma, luka bakar, pankreatitis, dan
sebab lainnya. Oleh karena itu, respon fisiologis ini didefinisakan sebagai
SIRS dengan tidak adanya kehadiran infeksi. Sepsis didefinisikan sebagai SIRS
yang disertai dengan adanya infeksi yang didasarkan kultur mikrobiologi atau
bukti klinis yang memperlihatkan gejala infeksi. Sepsis berat didefisinikan
sebagai sepsis yang disertai dengan adanya disfungsi organ, dan septic shock didefinisikan sebagai
sepsis yang disertai disfungsi sistem kardiovaskular setelah diberikan terapi
cairan sebanyak 40 ml/kg dalam satu jam.
Remick
(2007), De La Rosa et al. (2008), dan Levy (2004) juga menyebutkan berdasarkan Levy et al. (2003) bahwa hasil dari
persetujuan umum kedua pada tahun 2001 yang dilakukan oleh International Sepsis Definitions Conference adalah menghaluskan
definisi-definisi dari hasil konferensi pada tahun 1992. Konferensi ini
mengembangkan sistem pembagian karakter sepsis berdasarkan sistem PIRO (Predisposition, Infection, Response, dan
Organ dysfunction). Predisposition mengindikasikan adanya
keadaan yang dapat mengurangi tingkat ketahanan hidup. Infection merefleksikan pengetahuan klinik bahwa tingkat patogen
suatu mikroorganisme berbeda satu sama lainnya. Response menunjukkan reaksi terhadap sebuah infeksi dan
perkembangan dari SIRS. Organ dysfunction
menunjukkan rusaknya organ pada suatu sistem.
Gejala Klinis
Tabel 1 Gejala-gejala yang timbul akibat
sepsis (De La Rosa et al. 2008)
Variabel
Umum
|
·
Suhu > 38.3ºC atau < 36ºC
|
·
Frekuensi Jantung > 90
kali/menit
|
·
Tachypnea (Frekuensi nafas <
20x/menit
|
·
Perubahan status mental
|
Variabel
Inflamasi
|
·
SDP > 12.000 μ/L atau <
4.000 μ/L
|
Variabel
Hemodinamis
|
·
Tekanan sistolik < 90 mmHg
atau tekanan arteri < 70 mmHg
|
·
Saturasi oksigen di vena > 70%
|
Variabel
Disfungsi Organ
|
·
PaO2 / FIO2 <
300
|
·
Peningkatan Kreatinin > 0.5
mg/dL
|
·
International
Normalized Ratio (INR) > 1.5
|
·
Trombosit < 100.000 μ/L
|
·
Total plasma bilirubin > 4
mg/DI
|
Variabel
Perfusi Jaringan
|
·
Hiperlaktatemia > 1 mmol/L
|
Lesio
yang ditimbulkan
Lesio yang dapat ditemukan akibat adanya
sepsis adalah splenitis atau splenomegali, limphadenitis, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation),
degenerasi jaringan parenkhim, dan enteritis katarrhalis et hemorrhagica. Limpa
dapat menjadi bengkak akibat terjadinya hiperplasia makrofag dan akumulasi
netrofil karena peradangan yang terjadi akibat sepsis berlangsung secara
kronis. Limphadenitis diakibatkan peradangan pada limfonodus yang dicirikan
dengan membengkaknya limfonodus dan adanya eksudat. Jika dilihat secara
mikroskopis, akan terlihat adanya hiperemi pada limfonodus (McGavin & Fry
2007). Lesio DIC tampak karena terjadinya koagulasi yang meluas dan aktivasi
trombosit yang berlebihan. Hal ini dapat mengakibatkan trombositopenia dan
hemorrhagi seiring dengan parahnya sindrom (Mosier 2007). Degenerasi jaringan
parenkhim akan terjadi karena pertahanan tubuh tidak dapat lagi mengatasi
kondisi peradangan yang sudah menyebar ke seluruh tubuh. Enteritis katarrhalis
et hemorrhagica terjadi pada keadaan sepsis dikarenakan teraktivasinya
mekanisme pada pertahanan usus yaitu GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue) dan sel goblet yang menghasilkan eksudat
katarrhalis. Hemorrhagi terjadi karena agen infeksius yang terikut pada darah
merusak lapisan epitel mukosa usus. Apabila kelima lesio ini ditemukan, dapat
dikatakan bahwa pasien mengalami sepsis komplit dan apabila ditemukan minimal
tiga dari tanda-tanda sepsis tersebut dapat dikatakan sepsis inkomplit.
Patogenesa
Pada keadaan inflamasi seperti sepsis,
perubahan yang signifikan muncul pada sistem koagulasi dan sel-sel yang
meregulasi sistem tersebut. Pasien yang mengalami sepsis biasanya mengalami DIC
yang mengakibatkan perubahan hemostatis. Perubahan hemostatis ini membuat darah
menjadi menggumpal dan menyumbat pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah. Abnormalitas
pada sistem koagulasi menghasilkan berbagai macam gangguan hemostatis dan
trombosis sejak jaman Virchow. Tiga serangkai klasik dari Virchow adalah perubahan
kemampuan koagulasi, kerusakan sel endothel, dan aliran darah yang abnormal.
Pada penderita sepsis, ketiga kelainan ini muncul dan menyebabkan penurunan
aliran darah menuju organ vital (Remick 2007).
Sumber:
Cohen 2002
Lipopolisakarida
(LPS) atau endotoksin dan komponen bakteri lainnya ketika berada di darah
memberikan pengaruh kepada endothel, netrofil dan monosit. Respon endothel
akibat adanya infiltrasi LPS dan komponen bakteri mengakibatkan meningkatnya tissue factor (TF) dan plasminogen-activator inhibitor tipe I
(PAI-I). Peningkatan dari kedua komponen ini akan memberikan efek prokoagulan
dan mengakibatkan macetnya mikrovaskular. Selain itu, kehadiran LPS dan
komponen bakteri juga menginduksi sitokin sebagai mediator radang serta
menambah enzim kemotaksis dari lisosom. Sitokin dan enzim kemotaksis ini selain
juga dapat menyebabkan kemacetan pada mikrovaskular juga dapat mengakibatkan
vaskularisasi menjadi tidak stabil. Macetnya mikrovaskular dan tidak stabilnya
vaskularisasi mengakibatkan terjadinya koagulasi, demam, vasodilatasi, dan
kebocoran pada kapiler darah yang hasil akhirnya menyebabkan terjadinya sepsis
dan kerusakan multi organ (Cohen 2002).
Pustaka
Bone
RC, Sibbald WJ, Sprung CL. 1992. The ACCP-SCCM consensus conference on sepsis
and organ failure. Chest, 101(6):1481–1483.
Cohen J. 2002. The immunopathogenesis of
sepsis. Nature, Vol. 240. Nature
Publishing Group.
De La Rosa et al. 2008. Toward an operative diagnosis in sepsis: a latent
class approach. BMC Infectious Disease,
18: 8.
Fry
MM, McGavin MD. 2007. Bone marrow, blood cells, and lympathic system. Di dalam:
Pathologic Basis of Veterinary Disease
Fourth Edition. Editor: McGavin MD, Zachary JF. Missouri: Mosby Inc.
Levy MM. 2004. The challange of sepsis. Critical Care, 8: 435 – 436.
Levy
MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, Cohen J, Opal SM, Vincent
JL, Ramsay G. 2003. The SCCM/ESICM/ACCP/
ATS/SIS International Sepsis
Definitions Conference. Crit Care Med, 31(4):1250-1256.
Mosier
DA. 2007. Vascular disorders and thrombosis. Di dalam: Pathologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Editor:
McGavin MD, Zachary JF. Missouri: Mosby Inc.
Remick DG. 2007. Pathophysiolocg of
sepsis. The American Journal of Pathology,
Vol. 170 (5).
Wynn J, Cornell TT, Wong HR, Shanley TP, Wheeler DS. 2010. The host
response to sepsis and development impact. Pediatrics,
125 (5): 1031 – 1041.
~reptic_boy~